Friday, September 01, 2006

Permen Abdullah


(Oleh Andi Sri Suriati Amal)


Pukul 17.30. "Huh, masih sore," kata Maria melirik jam di pergelangan tangannya. Tidak seperti biasa, hari itu kebetulan tidak ada ceramah maupun tadarrus. Ada anggota jamaah yang saudaranya meninggal di Indonesia. Maka semua yang hadir diminta ikut sholat ghaib, dilanjutkan dengan pembacaan surah Yasin untuk almarhum.


Langit kelihatan cerah tak berawan. Panas yang terik membuat orang-orang di sini kegerahan dan berpakaian ala kadarnya. Pemandangan yang biasa saja sebenarnya di negeri Barat: orang-orang bersliweran dan berjemur tanpa menutup auratnya.


Maria berjalan menggandeng Abdullah, anak semata wayangnya yang berambut pirang dan berwajah kebulean itu. Menyusuri jalan Zeppelinallee sepulang dari pengajian IQRA' menuju halte kereta bawah tanah (U-bahn). Maria sebenarnya agak enggan langsung pulang ke rumahnya.


"Ayolah Abdullah, kita jalan-jalan dulu ke museum Dinosaurus", ajaknya.

"Nicht, Mama, kita pulang saja!"

"Ayolah, ini kan masih sore", katanya membujuk.


Dia tahu anaknya ingin cepat pulang ke rumah agar bisa menonton film kartun kesukaannya. Maria tidak mau langsung ke rumah karena enggan bertemu suaminya. Semenjak kejadian kemarin sore, Hans, suaminya masih terus berdiam diri.


Duh, kebahagian yang dulu akrab dengan dirinya, masihkah akan terus ada? Mampukah dia terus bertahan dengan suaminya meniti jalan hidayah bersama-sama? Ya Allah tolonglah aku, jerit Maria dalam hati.

****


Suaminya seorang pria Jerman. Mereka menikah tujuh tahun yang lalu di Indonesia. Tiga tahun pertama perkawinannya berjalan mulus. Ketika lahir anaknya, mereka pun sepakat memberikan nama Abdullah Martin Schwarz.


Semuanya berjalan indah dan menyenangkan. Maria lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah bersama anaknya. Sementara itu suaminya masih giat bekerja dan menerima gaji yang cukup lumayan. Kebutuhan Maria dan Abdullah terpenuhi dengan cukup. Apalagi suaminya termasuk type suami yang melayani istrinya dengan baik. Segala kebutuhan harian sampai urusan belanja diurus oleh suaminya. Maria cukup di rumah saja, mengasuh anak, memasak dan mengurus rumah tangga mereka. Karena itu Maria jarang keluar dan tidak mengenal banyak orang.


Hingga suatu hari ketika suaminya mengajak mereka jalan-jalan ke sebuah mall. Tak sengaja Maria melihat seorang gadis yang berwajah asia, berkerudung, manis sekali. Maria pun mendekatinya dan menyapa,

"Hallo!"

"Hallo" jawab gadis itu dengan senyum.

"Woher kommen sie (Anda berasal dari mana?) Orang Indonesia atau bukan?" tanyanya hati-hati.

"Iya benar. Kakak juga dari Indonesia, ya?"

"Betul".


Pucuk dicita ulam tiba. Mereka langsung terlihat akrab. Masing-masing merasa menemukan obat kerinduannya selama ini pada kampung halaman. Ternyata mereka sama-sama berasal dari satu suku. Ana nama gadis itu, ramah dan menyenangkan. Sebelum berpisah mereka saling bertukar alamat dan nomor telpon.


Perkenalannya dengan Ana terus berlanjut lewat saling telpon. Sesekali Ana diundang ke rumahnya. Hans, suaminya pun tidak keberatan, mereka langsung jadi akrab. Bahkan Abdullah putra Maria juga sangat menyukai Tante Ana.


"Oh ya kak, boleh dong sesekali ikut Ana ke Frankfurt?"

"Ada apa di sana Ana?" Maria balik bertanya.

"Itu lho kak, pertemuan dengan warga muslim Indonesia. Ada acara mengaji, dengar ceramah dari ustadz, juga ada makan-makan lho," sahut Ana, yang masih asyik menemani Abdullah bermain lego.


"Oh ya, asyik juga tuh kedengarannya. Emm, gimana menurutmu Hans?" tanya Maria meminta pendapat.

"Pertemuan dengan orang Indonesia? Hari apa itu Ana?" tanya Hans.

"Hmm, biasanya sih hari Sabtu. Sekali sebulan aja kok!"

"Oh ya, boleh kan Hans?" timpal Maria yang baru dari dapur dengan semangkuk besar koktail di tangannya.

"Boleh. Tapi mungkin saya tidak bisa selalu mengantarmu ke sana, sayang. Bagaimana kalau kalian perginya dengan Ana saja" sambil meraih koktail yang disodorkan Maria.


"Boleh...boleh..." hampir berbarengan Maria dan Ana menjawab.


Pengajian demi pengajian pun diikutinya. Bersama Ana dan Abdullah, Maria semakin rajin hadir, baik ke pengajian bulanan warga muslim maupun pengajian khusus muslimah. Seperti terbangun dari tidur dan mimpi indahnya, Maria mulai menyadari kenyataan pahit yang telah dilaluinya selama ini di rantau.


Dia telah begitu lama meninggalkan perintah-perintahNya. Bahkan apa yang dimakannya pun tidak pernah dihiraukannya. Selama ini dia dengan polosnya mempercayakan urusan belanja dapur kepada suaminya saja. Duh... dari mana suaminya membeli daging-daging itu, sosej, burger dan lain-lain. Selama ini yang dia pikir yang penting bukan babi. Duh... Robbi... rintihnya di sela doa panjangnya.


Maria tidak menyalahkan Hans. Ini semua akibat keteledorannya juga. Hans yang baru masuk Islam beberapa saat sebelum menikahinya itu tentu saja tidak tahu banyak tentang hukum Islam. Dia masih perlu banyak bimbingan. Dan kini ketika hidayah itu mulai akrab meyapa Maria, dia ingin segera semuanya berubah begitu saja. Ia ingin impian keluarga islami yang "samara" (baca: sakinah, mawaddah dan rahmah) segera terwujud dalam keluarga kecilnya.


Tetapi ternyata semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tantangan demi tantangan satu persatu datang menghadang. "Ini tidak masuk akal, Maria. Kenapa kamu harus memakai kopftuch (jilbab). Kamu kelihatan berbeda. Lihat tetangga kita, teman-temanku dan keluargaku. Semuanya kaget dengan perubahan ini. Jangan salahkan mereka jika mereka berubah sikap terhadap kamu," ujar suaminya dengan suara bergetar menahan amarah.


"Cukuplah kamu sholat lima kali sehari. Untuk apa bangun malam-malam sholat. Kamu kan tahu saya sangat sensitif dengan suara, tidurku bisa terganggu. Padahal pagi-pagi saya harus bangun cepat dan berangkat kerja" teriak Hans pada suatu malam ketika dia terbangun akibat suara air wudhu Maria.


"Cukuplah Maria, jangan bawa-bawa Abdullah. Dia masih terlalu kecil untuk mengenal huruf-huruf Arab itu."


"Kamu tau sendiri kan, di Jerman ini umur tujuh tahun baru anak-anak diajarkan membaca" kilah Hans ketika Maria mengajarkan Iqra' kepada Abdullah yang kini berusia 6 tahun.


Tak pelak lagi, perselisihan pendapat pun sering terjadi. Hans bukan hanya menolak untuk sholat bersama, malah selalu menolak segala yang dilakukan oleh Maria. Semua dianggapnya salah dan keterlaluan. Maria mencoba bersabar, dia tau sangat sulit buat Hans menerima segala sesuatu yang tentu saja masih sangat baru buatnya. Bila ada kesempatan dijelaskannya pelan-pelan dan tak lupa dipanjatkannya doa khusus agar suaminya juga bisa mendapat hidayah seperti dirinya.


Syukur kini Hans bisa menerima penampilan barunya dengan baju muslimah dan mau berbelanja di toko-toko yang menjual daging halal meskipun masih menolak untuk sholat dan puasa. Yang jelas kini Maria bisa melaksanakan ibadah dengan baik dan mengajarkan anaknya dengan berbagai ilmu agama. Abdullah dimasukkannya kekelas iqra' yang diadakan di mesjid Arab. Hans pun tidak banyak kometar lagi tentang hal ini.


Hingga pada suatu sore ketika Abdullah dan ayahnya baru pulang, Maria melihat anaknya mengunyah sesuatu. Ia sangat terkejut bila mengetahui permen yang dimakan Abdullah mengandung gelatin yang bahan dasarnya dari lemak babi.


Spontan Maria merampas permen itu dari tangan anaknya. Abdullah seketika kaget terus berteriak dan menangis,


"Mama..." teriak Abdullah.

"Itu permen Abdullah. Ibu guru yang kasih tadi di sekolah" Abdullah mulai menangis.
"Tidak sayang, ini tidak boleh. Permen ini haram Abdullah" Maria mencoba membujuk Abdullah.


"Papa, lihat itu mama. Abdullah mau permen itu" Abdullah segera berlari mengadu ke papanya.


"Maafkan saya Hans, tapi permen ini haram" Maria mencoba menjelaskan. Tangis Abdullah makin keras. Pokoknya dia mau permen yang kini ada di tangan Maria. Hans yang memang masih cape' tidak bisa menahan marah lagi.


"Apa-apaan ini Maria. Semuanya haram, permen pun haram. Saya tidak bisa terima lagi. Cukup..., saya tidak tahan lagi di rumah ini" suara Hans menggelegar yang diikuti suara pintu dibanting.


“Duh, salah lagi ..,
jerit Maria dalam hati. Abdullah mendengar teriakan papanya langsung berhenti menangis dan menghambur ke arah mamanya.


Maria hanya bisa menangis sambil memeluk erat putra satu-satunya, harapannya. Sepanjang jalan di dalam kereta (S-Bahn) menuju rumah, Maria mencoba merenungi kembali langkah demi langkah yang dilaluinya selama ini. Ah, dia tidak boleh menyalahkan Hans. Walau bagaimana pun, tetap banyak yang harus disyukurinya. Hans cukup sering mengalah dan mengikuti segala keinginannya. Mungkin caraku yang agak keterlaluan. Tentu saja, aku tidak boleh langsung memaksakan semua keinginanku kepada Hans dan anakku. Pikirnya. Bukankah dakwah Nabi juga bertahap?


Satu tekad kini yang dipegangnya. Dia tidak boleh menyerah. Maria akan terus berjuang agar keluarga samara yang idamkannya dapat terwujud. Bersama Hans, suaminya dan Abdullah anaknya. Ya Allah, izinkan aku terus bersamanya dalam ridho-Mu. Pintanya dalam hati.

Frankfurt, 8 Juni 2006